andi syahputra

Rabu, 07 Desember 2011

Memahami Data Kemiskinan Untuk Mencegah Politisasi

Data mengenai tingkat kemiskinan, akhir-akhir ini kembali menjadi "primadona" di tengah masyarakat, terutama di tengah maraknya sorotan terhadap kinerja pemerintah. Data kemiskinan bagi pihak yang pro pemerintah, jika mengalami penurunan, seringkali dijadikan sebagai pembenaran terhadap keberhasilan kinerja pemerintah. Namun bagi pihak yang beroposisi dengan pemerintah, data yang sama selalu dijadikan bulan-bulanan karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 

Hal inilah yang dapat ditangkap dari tulisan Hestiana pada Rubrik Opini Harian Umum Haluan Kepri, Selasa 4 Oktober 2011. Isinya kembali mengulang pertanyaan mengenai kriteria dasar penentuan kemiskinan mengenai data kemiskinan versi BPS dan harapan supaya BPS meningkatkan kinerjanya agar data yang dihasilkan semakin kredibel. Pertanyaan ini selain menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap data BPS, juga memperlihatkan kekurangpahaman mengenai bagaimana data itu dihasilkan. Untuk itu mari kita coba memahami dan mencerahkan pemahaman kita mengenai data kemiskinan.

Pertama, harus dipahami, data kemiskinan di Indonesia itu banyak jenisnya. Setiap data dihasilkan dengan konsep, metode, cara, serta untuk tujuan yang berbeda. Ada data kemiskinan versi BPS, BKKBN, Bank Dunia, dan masih banyak lainnya. Karena adanya perbedaan itu, maka data dari masing-masing lembaga tidak boleh dibandingkan secara apple to apple, karena pasti akan berbeda dan menimbulkan bias. 

Kedua, perlu dipahami mengenai konsep kemiskinan yang digunakan. Setiap orang tentu memiliki pandangan tersendiri mengenai apa dan siapa yang dapat dikategorikan miskin. BPS sendiri dalam menyajikan data kemiskinan secara makro mempergunakan konsep internasional yang telah diadopsi dan telah direkomendasikan oleh PBB supaya bisa dilakukan keterbandingan kemsikinan antar negara. Konsep ini sudah sangat sederhana, yaitu kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran dan bukannya penghasilan. Penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari; sedangkan garis kemiskinan non-makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Maka untuk dapat mempergunakan data BPS, kita harus menyetujui konsep ini terlebih dahulu.

Mengapa bukan penghasilan? Karena untuk mendapatkan data ini amatlah sulit dan cenderung bias. Berapa banyak orang yang mau jujur mengenai pendapatannya? yang terjadi adalah responden akan ketakutan dengan pajak, pungutan, dan sebagainya. Persoalan berikutnya mengapa garis kemiskinan hanya Rp233.740 per orang per bulan atau Rp7.791 per hari? Apakah ini masuk akal ditengah harga-harga yang semakin melambung? Disinilah pentingnya memahami konsep pengeluaran, karena berbeda dengan penghasilan yang biasanya dihasilkan oleh satu kepala keluarga, tetapi dikeluarkan kepada seluruh anggota keluarganya. Pengeluaran dihitung secara mandiri untuk kebutuhan setiap orang dalam rumah tangga.

Dengan demikian, jika satu keluarga beranggotakan empat orang, maka keluarga yang dianggap miskin adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah empat kali garis kemiskinan yaitu Rp934.960/keluarga per bulan atau setara dengan Rp31.165/keluarga/hari. Lebih jauh lagi, nilai Rp934.960 akan sesuai dengan rata-rata batas upah minimum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari upah minimum beberapa provinsi di Indonesia. Dan garis pengeluaran ini selalu diperbarui setiap saat pendataan untuk menyesuaian dengan inflasi yang terjadi. Lalu mengapa data  jumlah penduduk miskin BPS berbeda dengan Bank Dunia?

Perbedaan terjadi karena adanya standar paritas daya beli yang digunakan oleh setiap negara. Sesungguhnya bank dunia dan lembaga-lembaga lainnya tidak pernah melakukan pendataan kemiskinan dalam skala besar di Indonesia seperti yang dilakukan BPS. Dengan konsep dan data yang sama dari BPS, Bank Dunia hanya menggunakan standar garis kemiskinan yang lebih besar supaya untuk mendapatkan keterbandingan dengan negara lainnya. Untuk itulah perbedaan data harus disikapi secara bijak sebagai suatu kekayaan pilihan, dan bukannya dipolitisasi.

Dengan melihat angka-angka di atas, nampak jelas bahwa GK yang digunakan oleh BPS sangat rasional dan telah sesuai dengan realitas kondisi ekonomi penduduk Indonesia saat ini. Kita tidak bisa membantah sesuatu yang dihasilkan melalui suatu metodologi yang didesain secara ilmiah untuk mewikili populasi, yakni seluruh penduduk Indonesia yang tersebar di 33 provinsi baik itu di perdesaan maupun perkotaan, dengan menggunakan penarikan kesimpulan secara parsial, yakni berdasarkan apa yang kita saksikan di kanan-kiri lingkungan tempat tinggal kita yang kemudian kita anggap sebagai realitas populasi.

Anda yang tinggal di perkotaan mungkin tidak tahu bahwa data statistik hasil sensus penduduk menunjukkan sekitar sebagian besar penduduk Indonesia hidup di daerah perdesaan. Jika anda menginginkan data secara real, dari sisi mikro data penduduk miskin BPS saat ini telah tersedia berdasarkan nama dan alamat. BPS saat ini masih terus berusaha untuk meningkatkan kualitas data yang dihasilkan. Dan untuk menghindari kesalahan dalam mempergunakan data statistik, anda sebagai pengguna data bisa datang ke Kantor BPS kabupaten/kota terdekat untuk mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar